Total Tayangan Halaman

Kamis, 09 Juni 2011

TAK ADA LAGI EDELWEISS DI MERBABU

 Sabtu, 16 Februari 2008. Lama aku tunggu kesempatan ini. Kesibukan sebagai bapak dengan tiga orang anak juga tidak adanya teman yang mau menemani menjadi halanganku untuk kembali menjadi ‘anak rimba’. Aku berfikir si sulung saat itu sudah 13 tahun, sudah cukup kuat bertahan, meski awalnya mendapat tentangan dari yang melahirkan. Aku hanya ingin mendidik dia menjadi seorang laki-laki sejati. Dulu Merbabu adalah home sweet home, aku sering mendaki  berdua dengan ‘bekas pacarku’ yang sekarang menjadi ibu anak-anakku untuk sekedar melihat edelweiss mekar.
Berbekal 6 bungkus Mie Instan, 4 bungkus kopi plus gula, 2 bungkus roti isi coklat, sedikit gula jawa, 4 buah lilin, 1 pak parafin, 5 liter air, 1 poncho, 2 potong sarung, sandal tjepit, 1 buah senter LED, 1 buah senter korek gas dan 1 buah matras, aku berangkat ke Tekelan. Benar-benar pendakian ala 90-an, tanpa dome, tanpa sleeping bag, dan hanya berdua. Tadinya aku berharap di basecamp akan bertemu banyak teman, ternyata basecamp sudah sangat berbeda.  Aku tak menjumpai satu orangpun. Aku berfikir mungkin aku yang salah karena saat itu bulan Februari, musim hujan.  Saat aku tanya ke ‘bekele’ (kepala dukuh), katanya sekarang sudah jarang ada anak naik gunung, tidak seperti dulu tahun 90-an dimana pada bulan Mei s.d September hampir setiap minggu pasti ada yang naik gunung. Benarkah anak muda sekarang paranoid dengan alam liar?
Tepat jam 21.00 aku putuskan untuk mulai tracking, setelah berdo’a berdua kami mulai berjalan. Jalur pertama adalah ladang penduduk, kemudian memasuki hutan pinus.  Kira-kira 1 jam berjalan aku mulai merasa ada yang tidak beres, seingatku harusnya ada pipa air dijalur ini sampai ke POS Pending, tapi karena memang sudah lupa aku memutuskan untuk jalan terus. Jam 22.30, aku belum juga sampai POS, baru aku menyadari, kami telah tersesat. Aku memutuskan untuk kembali sampai pertigaan pertama sebelum hutan pinus. Disitulah awal ketersesatanku, seharusnya aku belok kiri dulu, dalam hati aku mengumpat ‘mana petunjuk arah yang pernah aku pasang dulu?’. Jam 23.45 kami baru sampai POS Pending, si sulung sudah terlihat begitu kelelahan.
Di POS Pending  kami istirahat sebentar, setelah sekitar 15 menit aku putuskan untuk kembali berjalan, kira-kira 1 jam kemudian kami sampai di POS I dan istirahat lagi. Kali ini aku membuka bekal, memasak 2 mie instan dan membuat secangkir kopi. Setelah makan dan cukup istirahat kami berjalan lagi, sekitar 50 meter ternyata ada pertigaan lagi, kembali aku memutuskan untuk ambil jalan lurus, ternyata jalan itu semakin turun dan menuju ke sumber air, maka kami kembali tersesat. Rupanya ‘petunjuk arah’ benar-benar telah hilang dijalur ini, ataukah aku yang tidak memperhatikan, aku kembali mengumpat. Kami kembali ke pertigaan.
Trek aku rasakan semakin berat dan gelap, sepintas timbul keraguan, aku tanyakan ke si sulung : “masih sanggup?”. Si sulung hanya menjawab : “pelan-pelan aja pak, jalannya licin dan kabut, senter korek sudah ndak bisa nembus”. Selepas hutan pinus, kami sampai di lereng putih, untunglah keadaan saat itu gelap dan berkabut, tidak nampak lereng putihnya, kalau nampak mungkin si sulung akan sedikit ketakutan karena dari kejauhan warna putih lerengnya ‘seperti tidak wajar’  (memang lereng putih ini kadang tampak seperti sekumpulan pocongan dan ada mitos penduduk lokal, lereng putih ini banyak makhluk halusnya). Aku menyemangati diri sendiri dan si sulung untuk terus berjalan. “Sebentar lagi nak, sedikit lagi, jangan menyerah”.
Sampai di POS Gumuk sekitar jam 02.00 kami istirahat, aku mencari ranting-ranting kering untuk dijadikan api unggun. Setelah menyalakan ranting dengan bantuan parafin, aku suruh si sulung untuk tidur dengan hanya berselimut sarung. Dalam kesendirian, aku bertanya dalam hati : “Apa yang sebenarnya kucari ditengah hutan ini?” Rasanya aku tidak butuh jawaban, namun aku kecewa karena harapan melihat sejuta bintang tidak kesampaian, tertutup kabut dan mendung.
Aku juga tertidur sebentar, sekitar jam 03.00 aku bangunkan si sulung, dan kami kembali berjalan. Trek semakin berat, terus menanjak. Kami berhenti setiap lima langkah untuk mengambil nafas, aku terus memotivasi si sulung yang kelihatan mulai lelah dan mengantuk. Kami beberapa kali terpeleset karena jalan licin, entah karena gerimis sore atau embun malam. Tapi memang benar-benar aku merasa trek semakin berat, aku berfikir dulu sepertinya tidak seberat ini. Treknya yang berubah atau usiaku yang bertambah? Aku hanya menikmati perjalanan, berusaha terus menapak selangkah demi selangkah. Bagi si sulung pendakian ini adalah pengalaman pertamanya dan aku ingin menanamkan prinsip ‘never give up’ kepadanya.
Sekitar jam 04.30 kami sampai di POS Watu Gubug, suasana sudah tidak lagi gelap karena menjelang pagi, dalam hati aku bersyukur sudah sampai sejauh ini. Kami kembali istirahat dan membuat secangkir kopi. Tidak ada pemandangan yang bisa dilihat, seandainya cuaca tak berkabut dan mendung, dari POS ini biasanya aku bisa memandang kota Salatiga yang kelihatan lampu-lampunya. Setengah jam kami beristirahat, aku ajak si sulung kembali berjalan, sedikit ogah-ogahan si sulung bangkit. Aku menunjuk keatas bukit, tampak antenna pemancar lamat-lamat. Aku bilang : “itu puncak sudah kelihatan, ayo sedikit lagi”.
Dari POS Watu Gubug ini karakter trek sudah berbeda, semakin berat. Kali ini mendaki lereng dengan kemiringan 75 derajat, kadang tak bisa dilalui hanya dengan berjalan biasa tapi harus dengan membungkuk bahkan merangkak. Justru dengan merangkak aku tidak merasa berat, kira-kira ½ jam kami sampai di POS Pemancar. Si sulung protes : “mana pak, katanya sudah sampai puncak, kok disana masih ada yang lebih tinggi”. Aku jawab : “Tidak ada tempat yang paling tinggi nak, diatas langit masih ada langit. Kita hanya berusaha setinggi-tingginya”. Kami tidak beristirahat di POS Pemancar ini, aku ajak si sulung untuk melanjutkan sampai ke puncak Syarif (ada 2 puncak di Gunung Merbabu, puncak Syarif dengan ketinggian 3.142 mdpl dan puncak Kenteng Songo 3.104 mdpl). Kondisi POS Pemancar tidak banyak berubah, hanya tampak semakin gersang, masih ada drum penampung air disitu, tapi sudah tidak mungkin menampung air karena drum sudah bocor dimakan karat.
Setelah jalan mendatar kira-kira 200 meter, trek kembali menanjak dengan kemiringan sekitar 60 s.d 75 derajat. Sebentar kami sampai di POS Helipad, angin sangat kencang disini, terkadang membawa bau belerang. Di POS ini kami kembali istirahat, di tempat yang agak tertutup batu besar aku memasak 2 mie rebus lagi, untuk bekal ke puncak. Selesai makan, aku tinggalkan backpacker disini untuk tracking terakhir menuju puncak, aku hanya membawa botol air 600ml dan sepotong roti. Tidak ada satu jam kami telah sampai di puncak Syarif. Sekitar jam 07.00 aku duluan yang sampai, si sulung menyusul kira-kira 5 menit kemudian. Aku kembali mengulang kebiasaanku begitu mencapai puncak, kencing, itu adalah tanda teritorialku. Dari pertama aku naik gunung, sejak Merapi 17 Agustus 1991, aku memang selalu kencing sesampainya di puncak. Bukan tanpa alasan aku kencing, aku berharap air seniku mengalir kebawah dan mampu menyuburkan gunung, agar selalu hijau (lebay).
Tidak ada ritual apapun dipuncak, kami hanya sebentar, kami juga tidak berfoto karena memang tidak punya kamera, aku hanya membawa HP Nokia 3310 yang sudah habis batunya. Puncak juga tidak menarik karena benar-benar tidak ada yang bisa dilihat, jarak pandang ke bawah hanya sekitar 20 meter. Dalam hati aku menyesal membawa si sulung naik di bulan Februari, dari puncak Syarif biasanya terlihat gunung Merapi dan di kejauhan tampak puncak Sundoro dan Sumbing, puncak Lawu, dan kadang kelihatan puncak Slamet. Dan yang paling membanggakan, di puncak syarif ini sering tertutup kabut, dan kita seolah berdiri diatas mega-mega. Hanya satu yang menarik, saat si sulung sampai di puncak, rambutnya putih semua tertutup salju Merbabu. (Merbabu bersalju? Bukan, itu adalah embun dari kabut yang menempel di rambut).
Aku bersyukur telah kembali mencapai puncak Merbabu, setelah terakhir Agustus 1994. Dan aku juga telah mengajarkan satu hal kepada si sulung, “Jika kita yakin untuk mencapai puncak, maka tercapailah, jadi never give up”.
Perjalanan turun kami lakukan dengan cepat, aku ajarkan kepada si sulung untuk melepaskan beban tubuh, jangan ditahan, gunakan kaki dan tangan hanya untuk meraih ranting pohon kecil atau batu agar tak terlalu laju. Di pertigaan menuju puncak syarif dan kenteng songo si sulung sempat jatuh terpeleset, tangannya lecet, tapi tidak berarti. Aku lalu menyuruhnya untuk berjalan pelan saja.
Setelah mengambil backpacker di POS Helipad kami istirahat di POS Pemancar. Agak lama kami disitu karena aku ingin mengenang masa lalu. Aku dulu sering memandangi edelweiss yang tumbuh subur dibawah lereng dan memetiknya setangkai dua tangkai. Kemudian aku turun ke lereng untuk sekedar napak tilas. Tak ada satupun pohon edelweiss, lereng hanya ditumbuhi ilalang dan rumput liar. Aku menyesal, bukan karena pendakian yang tak menghasilkan apa-apa, juga bukan karena tidak membawa kamera. Aku menyesal untuk setiap tangkai edelweiss yang aku petik dulu. Aku menyesal karena tak ada lagi edelweiss di gunung Merbabu. Aku menyesal karena tak bisa menjawab pertanyaan si sulung : “seperti apa pohon edelweiss itu?”. Kami pun pulang tanpa kenangan. Entah apa yang dipikirkan si sulung. Aku harap suatu ketika dia akan kembali, dengan atau tanpa aku, sekedar melihat : 'masihkah ada edelweiss disitu?'

1 komentar:

  1. Wah awal thn 8oan saya beberapa kali ke Merbabu, pertama kali lihat edelweis disana. Sejak itu kecanduan mendaki gunung sampai sekarang.
    Sayang sekali kalau edelweis di Merbabu ..... punah !! Bersyukur waktu itu sudah menghayati arti "pecinta alam" jadi gak ikut2an membabat edelweis. Semoga ada usaha pencinta alam menabur edelweis di Merbabu sehingga anak cucu bisa menikmati karunia Tuhan yangmenakjubkan itu. Bravo

    BalasHapus